1.440 Menit

1.440 Menit

Begitu deras hujan mengguyur bagian tubuh kita yang kian lelah dengan keadaan. Siang dan malam tak ada lagi perbedaan, hanya tentang kapan gelap itu datang dan pergi. Sering sore itu bertukar dengan pagi, ketika bahagia tidak dapat digambarkan lagi dengan langit yang biru, atau semangat tidak bisa disamakan lagi dengan kopi hitam yang diseruput. Kaca jendela yang dititik embun tidak lagi menandakan keindahan, melainkan mendung dengan terbang yang cukup deras membuka hari dengan banyak pertanyaan di setiap waktu.

 24 jam 1.440 menit, kalikan saja berapa pertanyaan yang muncul disetiap detiknya. Manusia dengan kesibukannya mulai berjalan menjelajah sudut bumi yang ditempatinya, mencari sesuap nasi dari sisa-sisa hujan yang turun tanpa henti. 

Ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang menyatu selaraskan barisan untuk bertarung menunaikan ibadah politik, ada yang sembahyang setelah mendengar lonceng gereja yang begitu megah memecahkan dunia dari keheningan, ada yang bingung tentang hidup yang kelak mau jadi apa, ada yang bergulat dengan egonya yang hampir didustai dosa.

Semua itu adalah bagian bagaimana kehidupan manusia setelah bangun dari tidur, setelah malam bergulat dengan mimpi yang didominasi spiritualitas. Yang paling bahagia ketika usia tak memaksa kita untuk berpikir, usia tak menjadi patokan bahkan harus berjalan sambil berlari, harus berpikir sambil tidur, dan harus mencintai tanpa dicintai. Indah seperti puisi Sapardi "Hujan Bulan Juni" sejak kapan bulan juni diguyur hujan? jawabanya: sejak Sapardi mulai menulis.

Apa dunia seindah sajak? seindah embun yang menempel di jendela dan diterangi matahari? tidak, jika ia, maka hidup bukan tentang pertanyaan melainkan jawaban. 

(PUJANGGA) 

Posting Komentar untuk "1.440 Menit"