LINGKO LODOK; Perjalanan Singkat, Sejarah, dan Nilai di Dalamnya

 

      Kebudayaan dan manusia adalah dua konsep yang tidak dapat terpisahkan. Begitu banyak prespektif yang menjelaskan kedua konsep ini dalam satu rantai, salah satunya adalah tradisi. Manusia adalah pelaku utama dalam tradisi dan bertugas lebih keras, bukan hanya sebagai anggota tradisi itu saja ataupun bertugas hanya sebagai sumber informasi, tetapi menjaga dan mencintainya sampai kapanpun. Bakker mengungkapkan, manusialah pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegitannya untuk sesuatu yang berharga dengan demikian kemanusiaannya semakin nyata.

     Perjalanan kali ini cukup menyenangkan ketika saya beranjak dari sedikit cerita tentang “kolo” menuju “lodok”. Yang membuat perjalanan ini menarik, tentu karena teman-teman My Flores yang begitu bersemangat menjemput sejarah tentang “lodok” dan lagi-lagi saya merasa tertantang untuk menulis perjalanan menarik ini sebagai orang Manggarai yang memiliki kecintaan tentang momen indah saat dahulu sejarah itu dibentuk. Bertempat di Weol Cancar, Kelurahan Wae Belang, Kecamatan Ruteng Kabupaten Manggarai Cerita tentang lodok dimulai.

    Sebelum saya jauh membahas tentang sawah yang berbentuk jaring laba-laba dan perjalanan teman-teman My Flores, saya ingin berceritra sedikit tentang sejarah pembentukan sebuah kampung karena semuanya memiliki keterkaitan dalam sejarah kehidupan orang Manggarai. Dahulu, Ada lima persyaratan membangun sebuah kampung yaitu; mbaru gendang, lingko, Wae teku, compang dan boa. Kelima unsur ini harus ada dan harus diciptakan jika orang Manggarai ingin membentuk sebuah kampung. Sedangkan penekanan dalam pembahasan kali ini adalah lingko yang merupakan gambaran secara jelas tentang rumah gendang sesuai dengan pepatah orang Manggarai  gendang one lingko peang yang berarti penyatuhan antara orang kampung dengan gendang dan tanah yang ada di kampung itu.

    Lebih jauh berceritra, Lingko merupakan tanah pertanian yang sudah diakui hak miliknya secara komunal ataupun perorangan. lingko dahulu dikenal sebagai tanah milik dari suatu kampung atau dusun dalam bentuk ikatan garis keturunan yang masih dipegang teguh oleh orang Manggarai hingga sekarang. Lodok adalah titik awal pada saat membagi tanah ulayat dan terletak di tengah area tanah ulayat. “lodok” memiliki keterkaitan dengan lingko yaitu, sistem pembukaan tanah  dan pembagian “lingko” yang berbentuk jaring laba-laba dan dimulai dari satu titik pusat, kemudian ditarik garis lurus sehingga membentuk segita yang memanjang.

    Dalam unggahan youtube teman-teman My Flores Bapak Basilius yang merupakan tokoh adat dan informan di Desa Weol sedikit menjelaskan tentang asal mula pembagian lahan yang berbentuk lingko lodok. (Jadi danong tanah lingko lodok so,o toe hanang no,o. Jadi seluruh mai salemai selat sape, haeng wae mokel awo) Jadi dulu tanah lingko lodok ini terdapat di semua wilaya Manggarai. Mulai dari selat sape sebagai batas bagian barat tanah Manggarai sampi di Wae Mokel sebagai batas timurnya. Bapak Basilius meneruskan, di mana saja ada rumah adat (gendang) pasti juga ada pembagian tanah berbentuk lodok.

  Bapak Darius yang juga merupakan informan dalam perjalanan teman-teman My Flores mengungkapkan, ketika dahulu ia bertanya kepada bapanya tentang sitem pembagian lingko yang berbentuk lodok, bapanya sedikit menjelaskan, bentuk tanah ini bermula dari gendang . Bentuk lodok dibuat berdasarkan bentuk gendang dengan tujuan semua warga dalam kampung mendapat bagian dalam lodok.

    Bapak Basilius menceritakan sistem pembagian tanah lodok menurut latar belakang historis; jadi yang membagi tanah adalah “tu,a teno” (orangtua yang berfungsi untuk membagi tanah) bersama dengan tu,a golo (orangtua yang memiliki kuasa ulayat atas tanah/lahan) kedudukan tua golo dan tua teno sama, mereka tinggal di mbaru gendang. Pada saat pembagian mereka berhak mendapatkan bagian lebih besar atau lime ponggo (jari jempol), seluruh sanak saudara yang tinggal di dalam kampung mendapatkan bagian yang ditandai dengan jari telunjuk sedangkan untuk anak wina (keluarga pemberi suami) yang tinggal di kampung tersebut ditandai dengan jari kelingking. Pembagian bagian-bagian lingko tersebut menggunakan lidi. Jadi orang tua dulu menggunakan jari tangan untuk mengukur besar dan kecil ukuran tanah dalam lodok lingko sampai kapanpun sistem pembagian ini tidak dapat diubah karena hal ini merupakan simbol adat-istiadat orang Manggarai.

    Begitu indah dan menarik ketika sedikit kembali pada perjalanan historis orang Manggarai terlebih khusus pada sistem yang dibentuk nenek moyang kita dengan begitu seni  mengungkapkan makna yang begitu mendalam. Apa lagi ketika simbol jari digunakan dalam tradisi pembagian lingko itu menandakan suatu kekayaaan pengetahuan luar biasa yang dimiliki nenek moyang orang Manggarai.

    Setelah saya mengamati lebih dalam video perjalanan teman-teman My Flores saya jadi lebih memahami tentang fungsi pembagian lahan (sawah) berbentuk lodok fungsi pertama yang saya dapatkan adalah fungsi sosial; yang menunjukan kebersamaan dan keadilan yang diwariskan nenek moyang orang Manggarai dengan membagi lingko dalam bentuk lodok dan semua orang Manggarai yang ada di dalam satu kampung mendapatkan bagiannya masing-masing yang disebut moso. Fungsi sosial ini tentu memiliki keterkaitan dengan makna konotasi yang ingin disampaikan nenek moyang orang Manggarai salah satunya meningkatkan kehidupan bermasyarakat dengan pola kekerabatan dan keharmonisan yang baik seperti ungkapan go’et neka behas neho kena, neka behas neho kota. Kedua adalah fungsi ekonomi; seperti pada ungkapan yang disampaikan Bapak Darius; hasil dari sawah lodok dalam setahun mencapai dua ton. Sebagian dari hasil itu untuk dimakan. Kalau ada keperluan dari kampung (gendang) maka padi itu akan dibawah ke Mbaru Gendang, selain itu jikalau membutuhkan uang untuk menyekolahkan anak, maka padi dari hasil sawah lodok itu juga dijual. Ketiga adalah fungsi religi dengan tujuan menjaga hubungan baik antara manusia dengan kekuatan supranatural, hal ini ditandai adanya ritual teing hang memberi sesajian terhadap roh-roh nenek moyang, yang masing-masing ritual tersebut memiliki maksud dan tujuan tertentu. Seperti kutipan yang disampaikan Bapak Basilius saat proses pembentukan lingko sesuai dengan prespektif historis dan antropologis dalam video My Flores; sebelum tanah digali diawali ritual dengan tuak sebagai minuman persembahan.

    Demikian ceritra perjalanan teman-teman @My Flores dalam edisi Lingko Lodok selamat membaca dan menikmati tontonan edukatif ini.

Akhir jumpa, saya berterima kasih kepada teman-teman

My Flores yang dengan senang hati terus berkarya dengan tujuan sama-sama menjaga dan melestarikan  tradisi orang Manggarai. Terima kasih sobat.

Komentar

  1. Sangat menambah wawasan kae daku... Mantap

    BalasHapus
  2. Lanjutkan bro🍻 penting sekali tulisan2 seperti ini untuk kaum milenial yang jarang mendapatkan ajaran(ilmu) tentang adat

    BalasHapus
  3. Mantap, menambah pengetahuan bagi byk masyarakat Manggarai yg blm byk tahu tentang tradisinya sendiri.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dodo;Seni Berkebun Orang Manggarai

Merdeka Belajar dalam Wajah Pendidikan Indonesia