Dodo;Seni Berkebun Orang Manggarai


 

Tradisi dan masyarakat adalah suatu ikatan yang tidak bisa dipisahkan. Beragam tradisi telah membentuk pola hidup bagi sekelompok orang. Begitu juga dengan orang Manggarai sebagai pelaku tradisi. Identitas yang dimiliki orang Manggarai telah berhasi dibentuk berdasarkan pola prilaku, kebiasaan yang diwariskan leluhur. adat isitiadat sebagai penanda tradisi berperan sebagai penciptaan konstansi dalam perjalanan waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan masyarakat pewarisnya dengan realitas sosial yang lebih luas.

Kali ini masih dalam perjalanan historis saya ingin mengulas salah satu kebiasaan orang Manggarai tentang seni berkebun yang dilakukan secara bersama. Saya dan semua teman-teman pembaca pastinya pernah berada di situasi masa kecil yang begitu asri. Saat kita berada di kebun menyaksikan bapa,mama, om, dan tanta bekerja bersama menggarap sawah dan kebun dengan penuh tawa. Saat sedang rehat mulai mempersiapkan suguhan makanan sambil menikmati aroma kebun yang memiliki wangi yang unik, ikan kering tanpa sayur pun lahap disantap. Kenangan itu selalu dibungkus dalam memori hitam putih sampai kapanpun. Pertanyaan mulai muncul ketika saya sudah melewati masa itu dan berada dilingkungan pendidikan, “apakah itu?, bagaimana kita bisa merawat keharmonisan seindah itu? Bagaimana cara menjalankannya dengan suatu keutuhan ?”


        Dodo
adalah salah satu tradisi orang Manggarai yang mulai dilupakan. Secara etimologis, dodo berasal dari kata do yang berarti banyak sedangkan kata dodo merupakan bentuk pengulangan utuh dari kata do yang memiliki makna lebih luas. Dalam kajian linguistik disebut juga reduplikasi penuh yang merupakan bentuk pengulangan utuh dari kata dasar hingga menciptakan makna lebih atau banyak. Tetapi karena kata do memiliki arti banyak maka, dodo memiliki makna yang lebih universal. Misalnya dari makna banyak yang dimiliki kata do sedikit berubah menjadi bekerja sama, karena melakukan pekerjaan secara bersama harus dilakukan oleh orang dalam jumlah yang banyak.

Sedangkan  berdasarkan prespektif sejarah Manggarai kata dodo diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan secara bergantian dengan semangat gotong royong. Biasanya dalam tradisi ini orang Manggarai membentuk suatu kelompok yang dikhuskan untuk bekerja. Misalnya hari ini anggota kelompok dodo bekerja dikebun Ende Tina, apa bila selesai maka setelah itu mereka berpindah di kebun Ende Vero. Konsep seperti itu selalu dipertahankan dan menjadi suatu landasan sosial bagi orang Manggarai sebagai pemaknaan hidup berdampingan secara utuh.

Ende Keris sebagai salah satu informan yang terus mengikuti perkembangan tradisi dodo menyebutkan, “eme hang ikan diha one uma ca, nenggitu keta taung one uma data iwon. Nenggitu kole kopi, eme kopi mecik diha one uma teke olon, nenggitu keta taung one uma data iwon” ( jika di kebun orang pertama makan ikan, begitu juga di kebun pemilik yang lain. Begitu juga kopi, kalau di kebun orang pertama minum kopi manis, maka di kebun pemilik yang lain juga harus minum kopi manis). Di Desa Golo Mendo Kecamatan Wae Ri,I Kabupaten Manggarai dodo memiliki arti yang sangat mendalam, Selain sebagai pekerjaan yang dilakukan secara bersama, dodo dapat menjadikan pribadi orang Manggarai dalam menempatkan diri sebagai kelompok dalam kelas sosial yang sama.

 Ende Keris menambahkan “landing eme puung dodo nana harus leko lite poli hitu” ungkapan ini berarti, ketika kita memulai pekerjaan atau memutuskan untuk gabung ke dalam kelompok dodo, maka kita harus membayar dengan cara mengikuti dodo sampai semua kebun anggota dodo telah selesai dikerjakan. Dalam konteks seperti ini saya menyimpulkan, eratnya hubungan antara orang Manggarai yang tergabung ke dalam kelompok dodo inilah yang menjadikan mereka sebagai wa,u (keluarga) bukan hanya hubungan yang terbentuk saat melaksanakan seni berkebun, tetapi dalam keperluan dan kepentingan yang lain.

Kakak Irwan salah satu orang muda yang cukup menyelam jauh tentang peristiwa budaya menjelaskan “eme sili damin dodo hitu leles, yang saya pahami tentang dodo selama ini, bukan hanya tentang aktivitas di dalam kebun atau sawah. Melainkan dalam banyak hal misalnya acara wuat wa,I (bekal sebelum melakukan perjalanan jauh) dan kumpul kope  ( kumpul dana persiapan perkawinan)”. Dari ungkapan yang disampaikan kakak Irwan kita bisa melihat secara sosial energi positif yang dihasilkan dari kebiasaan nenek moyang kita yaitu dodo, yang secara historis hanya sebagai pekerjaan yang dilakukan secara bergantian, telah menjadi suatu kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat orang Manggarai. Ini yang perlu kita jaga nilai sosial dan energi positif yang terus membekas tentang dodo.


Pesan yang disampaikan secara eksplisit oleh nenek moyang kita tentang tradisi dodo yang mereka ciptakan dan diturunkan lewat perjalanan waktu juga pristiwa adalah, suatu ketulusan yang besar. Seperti benang merah yang saya dapatkan dari tradisi dodo ini adalah tentang kehidupan sosiial. Bagaimana para leluhur dahulu harus menggarap lingko yang besar dengan keterbatasan alat dan bahan dan mengerjekannya sendiri. Itu yang menyadarkan mereka bahwa orang Manggarai adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan mulai dengan membentuk kelompok dalam seni berkebun.

Akhir jumpa saya mengucapkan Terima kasih untuk semua pecinta tradisi Manggarai yang tidak pernah berhenti untuk merawat dan menjaga  khazanah budaya Manggarai. Salam

 

 

 

 

 

Komentar

  1. Tetap melestarikan budaya Manggarai dengan menulis kakak. Semoga menjadi rantai dan motivasi untuk kami agar bisa menulis juga 🙏👍

    BalasHapus
  2. Terima kasih kk. Sukses juga buat ite. 🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merdeka Belajar dalam Wajah Pendidikan Indonesia

LINGKO LODOK; Perjalanan Singkat, Sejarah, dan Nilai di Dalamnya